So Unpopular
Saya percaya setiap orang pasti ingin menjadi populer. Setiap kali melihat orang lain populer, rasanya ingin menjadi seperti mereka. Saya tahu rasanya. Saya mengerti keinginan itu. Karena saya pun pernah berada di tempat itu. Tempat di mana kepopuleran menjadi suatu kebanggaan. Tempat di mana saya berusaha untuk menjadi populer. Tempat di mana saya akhirnya sadar kalau kepopuleran bukanlah jawaban untuk kebahagiaan saya.
Saat menonton film-film jaman sekarang, saya melihat, kecenderungan orang untuk berusaha menjadi populer masih menaungi tema film saat ini, khususnya film remaja. Contoh yang baru saja saya tonton adalah film Mean Girls, Confessions of A Teenage Drama Queen dan 13 Going on 30. Dalam film-film tersebut terlihat betapa gadis-gadis populer sudah menguasai sekolah. Dan selalu ada gadis tidak populer yang sangat ingin menjadi bagian dari grup tersebut. Tapi seringkali perbuatan grup tersebut sangat mengesalkan. Membuat kita yang melihat rasanya muak dan ingin mengubah sistem yang tanpa disadari sudah merajalela dalam kehidupan kita sehari-hari.
Saya ingin berbagi tentang pengalaman saya sendiri. Saat sekolah dulu, saya bukanlah gadis populer. Saya tidak pernah menjadi gadis populer. Tapi layaknya seorang remaja, anak gadis yang sudah mulai mengenal dunia luar, saya juga ingin menjadi populer. Tapi saya sadar, kondisi fisik saya tidak memungkinkan. Dalam dunia ini, populer identik dengan keren, cantik, kaya raya dan berkuasa. Saya sadar kalau saya cuma seorang gadis biasa. Wajah saya biasa saja. Saya tidak pintar. Bahkan kondisi keuangan keluarga saya pun biasa saja. Saya tidak bisa menyamai teman-teman saya yang cantik, pintar dan sering bercerita tentang luar negeri. Saya bukan tipe gadis populer. Dan saya sadari itu.
Seringkali saya berusaha untuk menegur sekelompok gadis yang terkenal di sekolah saya. Just wanna be friends with them. Tapi saya selalu dicuekin. Dianggap tidak ada. Like I never exist. Bahkan di belakang saya, saya tahu kalau mereka mengejek saya. Mengejek ketidakpopuleran saya. Mengejek ketidakmampuan saya. Mengejek semua tentang saya. Tapi saya tetap tegar. Saya ingat, kadang saya menangis. Saya sering bertanya pada diri saya sendiri, mengapa harus ada kesenjangan di antara manusia. Mengapa harus ada perbedaan yang memisahkan. Mengapa harus ada jembatan di antara saya dan mereka. Saya tidak pernah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Saya hanya bertanya dan bertanya terus, tanpa tahu apa jawabnya.
Setelah menginjak usia dewasa, saya mulai kuliah, mulai mengalami hal-hal yang berbeda dengan saat saya sekolah. Saat kuliah, saya memiliki beberapa teman yang selalu berkumpul setiap minggu. Rasanya indah. Saya merasa jadi bagian dari 1 grup populer di universitas. Rasa yang tidak pernah saya alami saat saya sekolah. Tapi itu pun tidak lama. Semakin banyak orang dalam 1 grup, itu berarti semakin banyak pribadi dan semakin banyak ego. Masing-masing punya kebiasaan dan kehidupan
yang berbeda. Dan itu akhirnya membuat grup kami pun bubar. And once more, I feel like I never exist.
Lulus kuliah, saya bekerja. Saya dengar, dunia kerja sangat berbeda dengan dunia sekolah atau kuliah. Tapi lagi-lagi saya masuk dalam tempat di mana kepopuleran menjadi satu kebanggaan. Ada seorang teman yang menjunjung tinggi kepopuleran. Kebetulan saya pernah dekat di awal saya masuk kerja. Setelah berjalan beberapa lama, saya jadi muak melihat caranya mencari muka agar dia jadi anak populer bos. Saya bukan iri atau dengki. Saya hanya tidak suka melihat dia menjilat bos bersamaan dengan dia menjelekkan bos di belakang beliau. Tapi saya tidak peduli. Saya tetap menjalankan pekerjaan saya seperti biasa.
Hanya saja, saya jadi mulai menyadari kalau kepopuleran memang bisa membuat orang jadi berubah. Orang yang tadinya baik hati, biar berubah menjadi tak peduli dengan orang lain dan berambisi besar untuk meraih kepopuleran. Segala cara bisa diambil untuk menjadikan dirinya populer. Siapa pun tidak boleh menghalangi langkahnya untuk menjadi yang terdepan. Ambisi untuk menjadi yang terbaik adalah hal yang bagus. Saya setuju. Tapi kalau dipakai jalan belakang atau jalan pintas, saya tidak akan setuju. Menjadi populer belum tentu menjadi yang terbaik. Tapi menjadi yang terbaik kemungkinan besar akan jadi terkenal, jadi populer. Banyak orang populer yang berawal dari kesederhanaan. Contoh Mother Teresa. Kesederhanaan. Bukan kekayaan. Bukan gemerlap uang. Bukan kecantikan. Bukan kesombongan. Hanya kesederhanaan. Mengapa kita harus bangga dengan kekayaan kalau kita tidak bisa memulai dari kesederhanaan. Dan saya akhirnya tahu mengapa harus ada jembatan antara saya dengan mereka.
Saya duduk di sini, menulis tentang ini, bukan berarti saya sudah menjadi populer. Saya hanya seorang wanita biasa yang berwajah biasa, memiliki tingkat kepandaian yang biasa, dan juga kondisi keuangan yang biasa saja. Tapi saya tumbuh dari seorang gadis kecil biasa dengan keinginan besar untuk jadi populer, hingga menjadi seorang wanita biasa dengan keinginan besar untuk tidak jadi populer. Tanpa popularitas, saya mendapatkan semua yang saya inginkan. Saya memiliki orang tua dan keluarga yang menyayangi saya, suami yang mencintai saya dengan sepenuh hati, rumah mungil yang melindungi saya dari hujan dan panas matahari, mobil tua yang mengantar saya ke mana pun saya inginkan, dan waktu serta kemampuan untuk menuangkan semua isi hati saya lewat tulisan-tulisan saya. Dan, saya bangga akan ketidakpopuleran saya. Karena jawaban atas kebahagiaan yang saya dapatkan saat ini adalah karena ketidakpopuleran saya.
Dedicated to Michael, my husband.
Even though I've never been the popular girl in the past, I'm proud to be the one and only popular girl in your heart and life, now and forever.