Indahnya Mudik
Pagi tadi, saat saya melintasi jalan tol dari rumah menuju kantor, saya melihat beberapa mobil "konde" lewat di dekat mobil saya. Entah mengapa, tiba-tiba saja rasa haru muncul tanpa diundang. Mobil "konde" berwarna merah melewati pandangan mata saya. Terlihat seorang anak kecil duduk di kursi depan samping pengemudi. Kantuk masih terlihat di matanya. Tapi bukan itu yang membuat saya terharu. Sinar kebahagiaan penuh kerinduan terlihat jelas. Anak itu pasti mengerti, sebentar lagi ia akan bertemu dengan sanak saudaranya. Mungkin neneknya, mungkin sepupunya, mungkin juga teman-teman kecilnya. Mungkin dalam hatinya ia mengerti, betapa sebentar lagi ia akan melewati jalan yang cukup panjang untuk menemui semua orang yang selama ini gak selalu ada di sampingnya.
Saya tidak tahu rasanya. Saya tidak pernah merasakan yang namanya 'mudik.' Kampung halaman saya di Jakarta. Saya lahir, besar dan menikah di Jakarta. Walaupun saya sejak menikah tinggal di Tangerang, tapi saya setiap hari ke Jakarta. Saya kerja di Jakarta. Suami saya pun begitu. Kami tidak pernah tahu apa rasanya mudik. Kami tidak pernah tahu apa rasanya berkemas untuk pulang. Kami tidak pernah tahu apa rasanya perjalanan panjang untuk pulang. Tapi setiap tahun, kami mengalami sekitar kami melakukan hal itu. Setiap tahun, kami melihat semua orang mudik, pulang ke kampungnya masing-masing. Setiap tahun, kami merasakan indahnya Jakarta dengan jalanan yang sepi, tidak adanya kemacetan, dan kami gembira dengan perasaan itu.
Tapi baru pagi tadi - pagi yang indah di hari terakhir kami bekerja sebelum libur panjang - saya merasakan kegembiraan mereka yang mudik. Saya bisa membayangkan, mereka bangun lebih pagi, menyiapkan barang-barang untuk masuk ke mobil, menyiapkan snack dan minuman untuk bekal buka puasa sepanjang perjalanan, dan kesibukan-kesibukan lain yang rutin mereka lakukan setiap tahun, setiap mereka mudik, pulang ke kampung halaman. Belum lagi celoteh-celoteh anak-anak yang masih kecil, yang mungkin lupa siapa saja yang akan mereka temui di kampung halaman mereka. Semua itu bisa saya bayangkan. Bisa saya rasakan. Dan, saya bergembira dengan perasaan itu.
Saya sering ke luar kota. Saya tahu apa itu bangun lebih pagi, apa itu berkemas, dan kesibukan-kesibukan yang dilakukan setiap berlibur. Tapi lain rasanya. Apa pun itu, lain rasanya. Saya bukan pergi untuk bertemu dengan saudara yang nun jauh di sana. Saya cuma pergi berlibur. Rasa gembira yang muncul hanya rasa sesaat. Bukan karena rindu, bukan karena kangen. Hanya rasa gembira.
Dan pagi tadi, saat saya melintasi jalan tol dari rumah menuju kantor, saya begitu gembira hingga saya menangis. Selamat mudik semuanya.
Regards,
Yenny
November 12th, 2004